Ketika kita merasa selalu kelelahan dan hanya keluh kesah
yang ada saat sudah payah meretas perjalanan entah itu sekolah, kuliah, atau
kerja, coba kita ingat lagi sejumlah orang yang tak sedikit yang tinggal di
sebuah tempat begitu terpencil dan bisa dibilang pedalaman.
Sebuah desa telah menunjukkan kepadaku, kepada kita semua
tentang arti perjuangan. Menyadarkan aku betapa seribu keluhan pun tak akan
menyelesaikan urusan dan kesulitanku. Di desa ini, aku belajar akan arti dari
sebuah kesederhanaan, kesahajaan, menghargai, bahkan bagaimana caranya bersikap
adil.
Volunteers dan Warga Desa Kurasari, Leuwiliang |
Kesederhanaan. Tak
ada kloset duduk disini, di desa ini. Tak ada kloset otomatis dan istimewa.
Bahkan seharusnya aku percaya sejak aku bermaksud menuju ke tempat ini, bahwa
disini air sangat sulit dijangkau. Begitupun dengan signal di han
dphone. Di kediaman seorang ketua RW sekalipun. Ya, aku bermalam di rumah beliau, seorang bapak ketua RW yang dengan kesahajaan nya menampung 15 orang volunteer pengabdian masyarakat ke desa Kurasari tersebut. Begitupula dengan istrinya yang pernah pada malam pertama kami bermalam mengeluarkan air matanya melihat 15 orang mahasiswa seperti kami menyantap makan malam hanya dengan 7 bungkus mie goreng instant yang dibagi menjadi 15 porsi, nasi putih, dan telur seminimal mungkin. Ketika makanan kami telah habis, ibu tersebut mengeluarkan beberapa tusuk sate ayam yang merupakan sate dagangannya di warung beliau. “ibu ga tega liat kalian begini, ini dimakan saja satenya ya. Ibu ga tau kalo yg mengalami ini anak ibu, jauh dari rumah, dari orang tua.” Tuturnya cukup mengharukan. Betul-betul sebuah kesahajaan dan kesederhanaan telah kami petik meskipun baru beberapa jam saja kami berada di tempat itu.
dphone. Di kediaman seorang ketua RW sekalipun. Ya, aku bermalam di rumah beliau, seorang bapak ketua RW yang dengan kesahajaan nya menampung 15 orang volunteer pengabdian masyarakat ke desa Kurasari tersebut. Begitupula dengan istrinya yang pernah pada malam pertama kami bermalam mengeluarkan air matanya melihat 15 orang mahasiswa seperti kami menyantap makan malam hanya dengan 7 bungkus mie goreng instant yang dibagi menjadi 15 porsi, nasi putih, dan telur seminimal mungkin. Ketika makanan kami telah habis, ibu tersebut mengeluarkan beberapa tusuk sate ayam yang merupakan sate dagangannya di warung beliau. “ibu ga tega liat kalian begini, ini dimakan saja satenya ya. Ibu ga tau kalo yg mengalami ini anak ibu, jauh dari rumah, dari orang tua.” Tuturnya cukup mengharukan. Betul-betul sebuah kesahajaan dan kesederhanaan telah kami petik meskipun baru beberapa jam saja kami berada di tempat itu.
Aku (paling kiri) dan anak-anak desa kurasari |
Kesahajaan
berjuang. Tak terhitung kesahajaan yang aku rasakan selama berbaur
dengan mereka, warga desa Kurasari Leuwiliang-Bogor. Segalanya harus bergerak
untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, sepele benar. Jika di kota besar
seperti di jakarta, sudah banyak orang yang merasakan derasnya air hanya dengan
memutar keran air, tapi tidak disini. Pegunungan, yang seharusnya selalu mudah
dalam mengakses sumber daya alam paling esensi tersebut. Justru harus rela
berjalan selama kurang lebih 15 menit untuk mendapatkannya. Belum lagi,
penerangan yang sangat-sangat minim memaksa keberanianku muncul demi mampu
melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan air. Tak hanya gelap, tapi
juga dingin yang tak biasa saat itu juga menyerangku. Ah lengkap rasanya. Tapi
ini tak ada apa-apanya bagi mereka. Hal yang lebih mengiris hati adalah, ketika
aku tahu bahwa besok pagi kami ber-15 akan melakukan perjalanan ke SD Cianten 1
untuk menghadiri acara perpisahan dan juga kenaikan kelas di SD tersebut.
Secara tak sengaja, kami bertemu dengan seorang alumni jurusan PGSD UNJ yang
sekarang menjadi guru di sekolah tersebut. Namun, Bukan itu yang ku maksud
mengiris hati, tapi aku harus menghadapi kenyataan bahwa butuh waktu 2 jam
untuk bisa sampai ke SD tersebut. Hal ini lah yang kemudian menjadi sebab
banyak anak usia sekolah yang tak bisa dan bahkan tak berniat melanjutkan
sekolah mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Aku tahu benar rasanya, panas dan
debu. 2 jam! Itu seperti lama perjalanan ku menuju kampus, itupun dengan
transportasi berupa bus transjakarta, bukan jalan kaki seperti saat itu. Entah
sudah berapa ribu motivasi yang anak-anak itu terima sehingga banyak diantara
mereka yang masih bertahan untuk melanjutkan sekolah. Aku tak terbayang ketika
bulan puasadatang dan mereka harus melakukan perjalanan sejauh itu demi
menuntut ilmu.
Acara Perpisahan di SD Cianten 1, Leuwiliang - Bogor |
Menghargai.
Terlalu penat rasanya menjadi warga jakarta selama belasan tahun. Ke-egoisan
yang ada merebak hampir di segala penjuru. Mungkin karena itu, ada sebuah
julukan bagi ibukota ini “Jakarta Keras, men!”. Dan ini sangat minimal adanya
ketika aku berada di desa ini. Ya, lagi-lagi desa ini memberiku begitu banyak
nilai yang membuatku dahaga belakangan ini. Ketika volunteer ini dihadapkan
dengan sebuah kesalahpahaman mengenai pembagian kupon bantuan di 2 RT yang
letaknya cukup jauh dari tempat kami menginap yakni sekitar 1 jam perjalanan,
kedua ketua RT tersebut tak lantas adu mulut, mereka duduk di satu lantai
membahas dengan segala kesahajaan tutur. Sama sekali tak menegangkan, dan
akhirnya timbul hasil mufakat. Sepanjang jalan menuju pulang ke kediaman kami, aku
dan 3 orang rekan satu tim ku hanya membahas mengenai kejadian tadi. Begitu
mulus, pikirku. Sekali lagi, aku mendapatkan nilai ini, saling menghargai.
Apapun itu, menghargailah jika ingin di hargai.
Bakti Sosial |
Pancuran untuk Mandi (perjalanan sekitar 15 menit) |
Adil. Ketika
proses belajar dan bermain di lapangan desa tersebut berjalan, banyak hadiah
yang kami bagikan atas kegigihan anak-anak tersebut. Seperti yang mencengangkan
adalah, ketika satu malam dimana desa tersebut mati listrik, namun anak-anak
didik kami meminta kami terus mengajar ngaji. Mereka lalu menunggu kami didepan
rumah kediaman kami. Kami yang bingung harus dengan apa membujuk mereka
akhirnya beberapa orang diantara kami keluar dan mengajar mereka ngaji dengan
berbekal senter dan lilin. Lihat, betapa gigihnya mereka.
Hadiah yang kami bagikan harus sama rata, agar tidak
terjadi kecemburuan sosial. Sama rata bukan berarti komunis. Kami membagikan
kepada mereka dengan porsi kewajiban yang disesuaikan dengan keadaan mereka.
Mereka senang, tak ada yang berkelahi, aman dan damai.
Mungkin ini lah pengabdian yang memasyarakatkan
masyarakat. Pemberian kami tak seberapa dengan nilai-nilai sosial yang kami
dapat. Merindukan kalian adalah sesuatu yang pasti adanya. Berterima kasih
adalah sesuatu yang harus kami tuturkan. Dengan segala kerendahan hati, kami
pulang setelah 3 hari berada disana. Terima kasih adik-adikku, terimakasih
kawan, terima kasih semuanya yang ada disana.
0 komentar:
Posting Komentar