Hampa.

apa yang kamu tahu? apa yang aku rasa? mungkin itu yang tak kamu tahu..
perbedaan itu terlalu menyala. entah apa dasarnya. Sekalipun aku mempelajarinya, aku takkan pernah mudah untuk mengerti. Bukan sulit mengerti, tapi menerima dengan cepat. Kau memintaku untuk mengerti duniamu, dan aku jalani itu. Tapi pernah kau tanya apa yang aku mau? Mungkin aku terlalu rapuh bagimu, hingga akhirnya semua terasa memberatkan sekarang.
Duniamu jauh lebih mudah kau jangkau, dan aku terlempar ke sudut yang paling terpencil. Tahu itu? Itu adalah sudut keraguanmu, yang perlahan menciptakan benih keraguan bagiku sendiri. Aku ragu jika harus kembali ke tengah-tengah duniamu, dengan setiap sudutmu yang kini sempit bagiku. Dengan setiap jejak langkahku yang terasa asing di matamu. Aku berpijak, tapi tak seteguh dulu, saat dengan sesukanya kau menebar senyum legamu. Aku melangkah tapi tak setegar dulu, langkahku berselimut gontai, saat sela itu begitu sempit. saat duniamu mengasingkanku perlahan. Ya, perlahan tapi pasti. Sekarang semuanya mengambang. Terpikir untuk sudahi, tapi kenapa sulit?
Ya, berat memang. seperti yang kau katakan, ini ujian terberat, entah seberapa berat kekuatanmu mempertahankan, dan aku hanya mengikuti alur. Mungkin terkesan pasrah, tapi aku harusnya berhasil menyimpan dengan baik setiap langkah gontaiku, setiap langkah tanpa hembusan sebaris namamu.
aku bukan mainan, aku bukan boneka bagi pria-pria dan juga sosok mu. Apakah benar detik-detik itu telah habis masanya untukku? Satu yang ku ingat darimu dulu, selalu ada sepadat apapun duniamu. Sekarang justru orang lain yang mengisi kekosongan itu. Sama sekali tak sama. Sama sekali hampa dan semakin hampa.

Kalau ku bisa mengartikan bahasa kalbu, tanpa ku tanya, aku kan menjawab isi kalbumu. Tapi aku buta bahasa kalbu itu.